YESUS DI KUTUK
Galatia, 3:13
Kristus telah menebus kita dari kutuk Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis
"Terkutuk lah orang yang digantung dikayu salib"
Kristus disalibkan karna kutukan Allah kpd manusia yg seharusnya di tanggung oleh manusia, namun kutukan itu di tanggungkan kpd Kristus untuk menyelamatkan manusia yg telah dikutuk Allah karna kejahatan yang tidak bisa di ampuni dgn kata maaf atau dengan berbuat baik agar;
"Manusia Berdamai dgn Allah".
==Inilah Tujuan Utama Yesus yg Ilahi Menjadi Manusia==
Mengapa Yesus di gantung di tiang salib...???
1. Versi Orang Yahudi.
Menurut kaum Yahudi, Yesus bersalah krn menentang beberapa kitab yg ada dalam taurat Musa, dan di tuduh bahwa Yesus men-Tuhan-kan dirinya.
Maka dr itu, umat Yahudi dan ahli taurat, menuntut Yesus agar Yesus disalib kan seperti penjahat lainnya.
Namun semua tuduhan itu terbongkar disaat2 hembusan nafas terakhir Yesus.
Yang terjadi adalh; bait suci terbelah dan terjadi gempa bumi (Matius 27:51-52)
Dan kata para prajurit yang menyalibkan Yesus...
"Sungguh IA ini adalah Anak Allah"
(Matius 27:54)
Disitu lah semua tersadar bahwa Yesus benar-benar anak Allah dan tidak bersalah.
Mereka mencari kesalahan Yesus tetapi TIDAK menemukan kesalahan-NYA.
"Yang Mereka cari adalah kesalahan Yesus TETAPI FAKTA yang di dapat adalah; PENGAKUAN TULUS yg keluar dari MULUT mereka sendiri bahwa (SUNGGUH YESUS adalah ANAK ALLAH).
(MATIUS 26:57-61)
Klik Artikel Renungan Kristen Lainnya
2. Versi Allah.
ISA harus menjalankan itu sabagai satu2nya cara utk menanggung kutukan ALLAH kepada manusia dari neraka dan itulah tujuan kedatangan ISA.
MENGAPA HARUS ADA PENEBUSAN DALAM KAITANNYA DENGAN KUTUKAN YANG DI TIMPAHKAN KEPADA ISA...???
Mari kita lihat jawaban Pdt. Esra Soru.
ESRA SORU MENJAWAB :
Salah satu keunikan Kristen adalah adanya konsep penebusan dosa di mana manusia berdosa seharusnya dihukum oleh Allah tetapi Yesus Kristuslah yang mengorbankan diri-Nya untuk mati dan menggantikan manusia dan dengan demikian menebus dosa-dosa manusia. Coba bandingkan dengan kutipan berikut :
Subhadra Bhiksu: A Buddhist Catechism: Tak seorangpun bisa ditebus oleh orang lain. Tidak ada Allah dan tidak ada orang suci yang bisa membentengi seorang manusia dari konsekuensi dari tindakan jahat. Setiap orang dari kita harus menjadi penebusnya sendiri. (‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal. 590).
Jelas bahwa agama Budha (dan juga semua agama) memang percaya bahwa manusia sendirilah yang harus menanggung semua akibat dosanya. Lalu mengapa kekristenan percaya pada konsep penebusan dosa?
Begini, para teolog Kristen percaya bahwa di hadapan fakta dosa manusia, terjadilah ketegangan antara 2 sifat Allah yakni kasih dan keadilan. Allah adalah Allah yang adil yang menuntut adanya penghukuman bagi setiap dosa sekecil apa pun.
Ayub 10:14 - kalau aku berbuat dosa, maka Engkau akan mengawasi aku, dan Engkau tidak akan membebaskan aku dari pada kesalahanku.
Nah 1:3 - TUHAN itu panjang sabar dan besar kuasa, tetapi Ia tidak sekali-kali membebaskan dari hukuman orang yang bersalah. Ia berjalan dalam puting beliung dan badai, dan awan adalah debu kaki-Nya.
Tetapi Allah juga adalah Allah yang penuh kasih. Dia pengasih dan penyayang, sabar dan berlimpah kasih setia.
Maz 103:8-9 – (8) TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. (9) Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam. (10) Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita
Ini penting untuk ditekankan karena ada banyak orang baik Kristen maupun non Kristen berpikir mengapa Allah tidak mengampuni dosa manusia begitu saja? Mengapa harus ada penghukuman lagi? Mengapa harus ada penebusan dosa segala? Perhatikan kutipan berikut ini :
Ajith Fernando – Jika Allah langsung mengumumkan pengampunan, maka pengampunan itu dijadikan murahan. Dosa kita terlalu serius untuk ditanggapi seperti itu. Kita terlalu signifikan sehingga kesalahan kita tidak bisa diperlakukan dengan begitu acuh tak acuh. (Supremasi Kristus, hal. 155).
Jadi kalau ada manusia berdosa, kasih Allah menuntut untuk mengampuninya tetapi keadilan Allah menuntut untuk menghukum-nya dan tidak membebaskannya.
Bil 14:18 - TUHAN itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran, tetapi sekali-kali tidak membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, bahkan Ia membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat.
Perhatikan ayat ini baik-baik. Dalam ayat ini 2 sifat Allah ditampilkan bersama-sama. Kata-kata : “berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran” menunjukkan kasih Allah sedangkan kata-kata : “sekali-kali tidak membebaskan orang yang bersalah dari hukuman” menunjukkan keadilan Allah.
Karena itulah dikatakan terjadilah ketegangan dalam diri Allah, terjadi tarik menarik antara 2 sifat Allah ini. Di satu sisi Ia harus mengampuni orang berdosa itu karena kasih-Nya tapi di sisi lain Ia harus menghukum orang berdosa itu karena keadilan-Nya. Jika ada orang berdosa di hadapan-Nya dan Ia lalu mengampuninya begitu saja, lalu di mana keadilan-Nya? Tapi kalau Ia lalu menghukumnya dengan segera, lalu di mana kasih-Nya? Bagaimana Ia harus tetap mengampuni orang berdosa itu sambil tetap menghukumnya? Bagaimana Ia harus menghukum dosa itu tapi sekaligus mengampuninya? Ketegangan semacam ini hanya mendapatkan solusinya dengan adanya ide tentang substitusi / penggantian dari orang berdosa itu. Jadi misalkan si A berdosa maka dibutuhkan orang lain yang berdiri di sana untuk menggantikan si A menerima hukuman atas dosa itu sehingga keadilan Allah terpuaskan. Dan kalau itu yang terjadi maka secara otomatis si A tidak lagi menerima hukuman atas dosanya. Ia bebas, ia diampuni dan dengan demikian kasih Allah nyata atas diri A.
Tapi bukankah dengan mengalihkan hukuman yang seharusnya diterima si A kepada orang lain maka Allah menjadi Allah yang tidak adil karena menghukum orang yang tidak bersalah? Jelas saja itu sebuah ketidakadilan kalau pihak yang dihukum itu benar-benar orang lain. Tapi bagaimana kalau pihak yang dihukum itu adalah yang menjatuhkan hukuman itu sendiri? Untuk menggambarkan ini, saya kutipkan sebuah cerita yang diangkat seorang teman di Facebook. Soal benar atau tidak, tidak jadi soal tapi kisah itu sendiri dapat menggambarkan apa yang saya maksudkan. Berikut ini kisahnya :
“Di ruang sidang pengadilan, hakim Marzuki duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa PU terhadap seorang nenek yang dituduh mencuri singkong. Nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, cucunya lapar,.... namun manajer PT A*K (B grup ) tetap pada tuntutannya, agar menjadi contoh bagi warga lainnya. Hakim Marzuki menghela nafas, dia memutus di luar tuntutan jaksa PU, 'maafkan saya', katanya sambil memandang nenek itu, 'saya tak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi anda harus dihukum. Saya mendenda anda 1 juta rupiah dan jika anda tidak mampu bayar maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa PU'. Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam, sementara hakim Marzuki mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian mengambil dan memasukkan uang 1 juta rupiah ke topi toganya serta berkata kepada hadirin. "Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar 50 ribu rupiah, sebab menetap di kota ini, yang membiarkan seseorg kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya, saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa." Sampai palu diketuk dan hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, nenek itu pun pergi dengan mengantongi uang 3,5 juta rupiah, termasuk uang 50 ribu yang dibayarkan oleh manajer PT AK* yang tersipu malu karena telah menuntutnya”.
Tentu saja tidak semua cerita ini sesuai dengan konsep yang saya jelaskan tetapi apa yang dilakukan hakim Marzuki jelas menyeimbangkan keadilan dan kasih. Karena rasa keadilan, ia harus tetap menjatuhkan hukuman kepada si nenek itu dengan denda 1 juta. Tapi karena rasa kasih ia sendiri membayar yang 1 juta itu. Ini akan menjadi tidak adil apabila hakim Marzuki meminta orang lain yang tidak bersalah dalam pencurian itu untuk membayar denda karena pencurian itu. (Kalau hakim Marzuki mendenda hadirin yang ada, itu dengan tuduhan yang berbeda, bukan dengan tuduhan mencuri melainkan membiarkan ada orang miskin di kota mereka tanpa ditolong). Tapi itu bukanlah ketidakadilan jika ia atas kehendaknya sendiri menanggung hukuman yang ia jatuhkan sendiri kepada si nenek yang bersalah.
Nah, demikian juga jika Allah menghukum pihak lain karena dosa manusia, maka Ia berlaku tidak adil. Tapi bukanlah ketidakadilan apabila Ia atas kerelaan-Nya sendiri bersedia menanggung hukuman yang Ia sendiri jatuhkan untuk orang berdosa. Ia yang menghukum dan Ia sendiri yang menerima / menanggung hukuman itu. Itu adalah tindakan kasih bukan ketidakadilan.
Ajith Fernando – Tetapi di sini Hakimnyalah yang dihukum. Guillebaud berkata : Pengganti yang mati di Kalvari menyatakan diri-Nya sebagai Hakim seluruh dunia (Mat 12:41-42; 25:31-46). (Supremasi Kristus, hal. 152).
Dengan menjatuhkan hukuman atas dosa manusia maka keadilan Allah terpuaskan. Dan dengan terbebasnya manusia dari hukuman-Nya maka kasih-Nya terpuaskan.
Ajith Fernando - Dia memberlakukan hukum kasih. Dia meng-izinkan hukum itu menyelamatkan kita. Tetapi Dia melakukannya tanpa melanggar hukum keadilan atau membatalkan tuntutan-Nya. Apa yang Dia lakukan dalam kasih adalah untuk memuaskan tuntutan tersebut. Tuntutan keadilan tidaklah diabaikan atau dibatalkan. Tuntutan tersebut dipenuhi. Satu-satunya jalan Allah bisa melakukan hal tersebut adalah melalui hukuman yang ditanggung Anak-Nya yang tanpa dosa bagi kita. (Supremasi Kristus, hal. 137).
Ya, begitulah konsepnya. Tapi di balik konsep semacam itu harus ada seorang pengganti bukan? Pengganti yang menerima semua hukuman yang dijatuhkan Allah atas dosa manusia. Pengganti itulah yang menyebabkan manusia selamat dari hukuman Allah dan karenanya penggantinya disebut sebagai juruselamat. Dan supaya Allah tidak bertindak tidak adil maka pengganti-Nya adalah diri-Nya sendiri seperti yang sudah saya ilustrasikan di atas. Tapi bagaimana Allah di surga dapat menerima hukuman yang Ia jatuhkan sendiri sedangkan hukumannya hanya cocok diterima manusia yakni mati sesuai Kej 2:17 dan Rom 3:23? (Allah tidak bisa mati). Caranya adalah Allah berinkarnasi / menjelma menjadi manusia. Dan itulah yang sudah Ia lakukan dengan datang ke dalam dunia ini, menjadi manusia Yesus Kristus. Yesus Kristus inilah yang nantinya menerima / menanggung semua hukuman atas dosa manusia di atas kayu salib. Dialah pengganti kita.
Yes 53:4-6 - (4) Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. (5) Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. (6) Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.
Ya, hukuman kita ditanggung oleh Yesus Kristus yang adalah Allah sendiri. Dosa kita dibayar oleh Dia yang telah menuntut pembayaran itu. Karena itu dengan tepat Yesus disebut sebagai Juruselamat dan penebus dosa manusia.